Hiromitsu Shinkawa, kakek berusia 60 tahun, warga kota Minamisoma, Prefektur Miyagi,
Jepang timur laut melambaikan tangan untuk meminta tolong. Ia terseret 15 kilometer ke laut lepas.
Setelah dua hari, tepatnya Minggu (13/3/2011), ia ditemukan dalam keadaan selamat dan sehat.
TSUNAMI yang menyapu pesisir timur Pulau Honshu dan pulau lain di pantai Pasifik, Jepang, telah meninggalkan sejuta kisah sedih bagi para korban yang selamat. Setelah berjuang melawan air bah berkecepatan 800 kilometer per jam itu, bahkan ada yang terseret hingga sejauh 15 kilometer ke laut lepas, mereka berhasil ditemukan dalam kondisi selamat.
”Apakah saya sedang bermimpi? Saya merasa seperti dalam sebuah film fiksi,” kata Ichiro Sakamoto (50), warga Hitachi di Prefektur Ibaraki. ”Setiap kali saya mencoba mencubit pipi untuk memastikan apakah saya bermimpi atau tidak,” katanya.
Hitachi, seperti kota lain di Jepang, adalah kota modern. Siang itu, tidak lama setelah terjadi tsunami, Sakamoto merasa telah kehilangan kotanya. Ia seperti ”terlempar jauh” dari kehidupan nyata yang modern ke sebuah padang sampah dan lumpur yang amat luas. Kehidupan kota yang riuh telah berubah sepi hening. Tsunami telah melumat kehidupannya.
Kalau saja Sakamoto di Sendai, ibu kota Prefektur Miyagi, mungkin dia akan mengatakan, ini adalah mimpi buruk yang panjang. Di sini, sebuah pesawat terbang hancur terseret gelombang dan terdampar di sebuah kompleks perumahan yang juga hancur. Sebuah mobil bertengger di bubungan rumah. Sebuah kapal terempas sejauh belasan kilometer ke daratan.
Scott West, seorang aktivis kelautan, melukiskan dahsyatnya gelombang laut itu mirip kehancuran ”apokaliptik”. Seperti ditulis Agence France-Presse, West menuturkan bagaimana ia menyaksikan ganasnya sapuan tsunami, yang ia sebut ”dinding air hitam yang menderu-deru”.
Scott West, seorang aktivis kelautan, melukiskan dahsyatnya gelombang laut itu mirip kehancuran ”apokaliptik”. Seperti ditulis Agence France-Presse, West menuturkan bagaimana ia menyaksikan ganasnya sapuan tsunami, yang ia sebut ”dinding air hitam yang menderu-deru”.
Aktivis Sea Shepherd Conservation Society yang berbasis di AS itu sedang berada di kampung nelayan Otsuchi, Prefektur Iwate, salah satu daerah paling parah tersapu tsunami di Pulau Honshu, Jumat lalu. Ia sedang asyik ngobrol dengan beberapa nelayan. Sesaat setelah gempa dahsyat pukul 14.46 waktu setempat, tiba-tiba terdengar suara menderu keras.
Mereka melihat ”dinding laut hitam yang tinggi dan menderu hebat” sedang bergerak menuju daratan. Hanya dalam sekerlingan mata, dinding tembok dan rumah hilang diterjang air yang dengan cepat mengisi lembah-lembah dan celah-celah di tepi pantai di permukiman nelayan itu. Tanpa berpikir panjang, mereka pun lari sekencang-kencangnya menuju tempat yang agak tinggi.
Pada saat yang sama, kata West, guncangan gempa susulan yang cukup keras terjadi berkali-kali. Seorang wanita yang terseret air bah menjerit minta tolong. Di samping wanita, tsunami menyapu puluhan bangunan dan kendaraan. Orang-orang berteriak histeris ketika air nyaris menyentuh tumit mereka. Sebagian dari mereka akhirnya hanyut.
”Kemudian saya melihat sesosok mayat di pantai. Rumah, mobil, dan barang apa saja telah hancur, menyatu menjadi sampah yang bergulung-gulung diempas arus air,” ujarnya.
West mengatakan, Otsuchi sebenarnya kota pantai yang cukup besar. Daerah itu telah menjadi kota mati. Bencana gempa dan tsunami telah meninggalkan kerusakan dan kebakaran, tidak ada yang tersisa. ”Penderitaan warga yang selamat tidak terkira. Mereka terguncang hebat karena kehilangan harta benda dan orang-orang yang dicintai,” katanya sedih.
Wataru Fujimura (38), warga Miyagi, kehilangan rumahnya. Awalnya dia merasakan guncangan gempa yang kuat. ”Perabot rumah tangga berjatuhan. Dinding gedung apartemen kami retak. Jalanan terbelah. Sungguh mengerikan,” ujarnya seperti dikutip Associated Press.
Gulungan ombak menyapu rumah, perahu, mobil, sampah, dan puing-puing. Kotanya dalam sekejap berubah seperti kubangan rawa. Tak dijelaskan di mana apartemen milik pria itu. ”Kami menghabiskan sepanjang malam di dalam mobil,” ungkap pria itu dalam keadaan masih shock.
Terseret sejauh 15 km
Kisah lebih dramatis dituturkan Hiromitsu Shinkawa, kakek berusia 60 tahun, warga kota Minamisoma, Prefektur Miyagi, di wilayah Tohoku, Honshu, Jepang timur laut. Ia terseret sejauh 15 kilometer ke laut lepas. Namun, setelah dua hari, tepatnya hari Minggu, ia ditemukan dalam keadaan selamat dan sehat.
Shinkawa menuturkan bahwa hari Jumat, sesaat setelah gempa dahsyat yang diikuti banyak gempa susulan itu, ia mendengar gemuruh hebat dari arah laut. Ternyata gelombang tinggi bergerak cepat menuju daratan. ”Saya berusaha melarikan diri, keluar dari rumah, setelah mengetahui tsunami datang,” tutur Shinkawa kepada Jiji Press.
Setelah berhasil keluar rumah, Shinkawa malah balik lagi ke rumah untuk mengambil sesuatu. Pada saat itulah gelombang air bah menerjang rumahnya hingga roboh. Ia terseret jauh sesaat setelah meraih sepotong puing atas atap rumahnya. Meski terus terseret arus, di antara serakan puing-puing bangunan yang hanyut bersamanya, ia tetap berpegang kuat pada puing atap rumahnya itu.
”Saya selamat setelah meraih puing atap rumah saya,” katanya. Sebuah kapal penghancur milik Maritime Self-Defence Force yang menyusuri perairan laut di Prefektur Fukushima, mencari korban tsunami, menemukannya dalam kondisi sehat, Minggu pukul 12.40.
”Tak seorang pun berpikir tsunami sedahsyat ini,” kata Michiko Yamada (75), warga Rikuzentakata, desa yang bersih disapu tsunami di Iwate. ”Saya selamat, yang lain hanyut di depan saya,” katanya kepada Reuters. Keajaiban alam, yang oleh orang beragama disebut ”pertolongan Tuhan”, menyelamatkan mereka. Power by kompas.com
0 comments:
Posting Komentar